Last Updated:
Resiko Bisnis Usaha Pengembang Pusat Perbelanjaan
PustakaDunia.com

Resiko Bisnis Usaha Pengembang Pusat Perbelanjaan / Mall

Anonymous
Anonymous Usaha Property

Resiko Bisnis Usaha Pengembang Pusat Perbelanjaan / Mall - Risiko bisnis merupakan kombinasi dari tantangan dan keunggulan pada suatu perusahaan yang merupakan hasil dari strategi tertentu dan ketrampilan manajemen perusahaan tersebut. Meskipun semua perusahaan menghadapi risiko industri yang sama tetapi tiap – tiap perusahaan berbeda dalam mengelolanya.

Dalam setiap pemberian KMK kepada pengembang, untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi kita harus bisa mengidentifikasi apa saja risiko yang mungkin timbul sekaligus bisa memitigasi risiko tersebut, sebagai berikut ; 

Risiko Umum  Usaha Pengembang Pusat Perbelanjaan / Mall

Properti merupakan industri yang memiliki korelasi kuat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Meskipun termasuk industri yang menarik, tapi banyak pengalaman buruk (bad debt) yang disebabkan karena pembiayaan pada sektor properti yang tidak terkendali.

Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam analisis risiko adalah karakteristik industri properti sebagai berikut :

Analisis supply demand

Analisis terhadap aspek ini memerlukan data kuantitatif dari asosiasi dan atau instansi/pihak independen lainnya.

Korelasi yang kuat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

Pada saat kondisi  ekonomi meningkat (booming), nilai properti akan melonjak, dan pada kondisi resesi harga-harga properti akan jatuh sangat rendah.

Risiko karena spekulasi yang tinggi

Hal tersebut timbul karena faktor  5.1.1 dan 5.1.2 baik menyangkut pengembang maupun calon pembeli.

Risiko yang terkait dengan pengembang 

Bonafiditas dari pengembang

Bonafiditas dari pengembang dapat dilihat antara lain dari reputasi bisnis, karakter, pengalaman, kapasitas dan keahlian. Reputasi/karakter yang tidak baik sangat berpotensi menyebabkan kegagalan kredit (on will). Pengalaman sebagai pengembang sangat berperan untuk keberhasilan pembiayaan di sektor ini, termasuk ketersediaan tenaga ahli, own share yang cukup dan lain-lain.

Legalitas dari pengembang

Legalitas pengembang antara lain legalitas selaku Badan Hukum dan legalitas usaha. Ketiadaan/ketidaklengkapan atau tidak berlakunya legalitas pengembang dapat menimbulkan potensi kerugian di kemudian hari.

Terkait dengan risiko yang timbul karena faktor pengembang, maka untuk memitigasi risikonya Pengembang Pusat Perbelanjaan tersebut harus benar – benar memenuhi persyaratan sebagai berikut : 

Pengembang anggota organisasi profesi pengembang (developer)

  • Perusahaan berbadan hukum Indonesia
  • Terdaftar sebagai anggota Real Estate Indonesia, APERSI atau organisasi profesi sejenis lainnya yang diakui Pemerintah.
  • Memiliki perijinan selaku pengembang (developer) yaitu Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK)
  • Memiliki legalitas yang lengkap selaku badan hukum (Akta pendirian perusahaan dan perubahannya, Anggaran Dasar dan perubahannya, legalitas lainnya) atau legalitas selaku perorangan (KTP, KK dan legalitas lainnya) serta legalitas usaha (SIUP, SITU, TDP dan lainnya) sebagaimana diatur dalam PPK masing-masing bidang bisnis.
  • Untuk proyek-proyek tertentu mensyaratkan adanya Surat Ijin Penggunaan Tanah dari Gubernur setempat dan atau fatwa tata guna tanah dari Kantor Agraria daerah setempat.
  • Memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai ketentuan yang berlaku.
  • Mempunyai karakter dan kapabilitas sebagai developer

Pengembang yang bukan anggota profesi pengembang (dapat berbentuk perusahaan atau perorangan) 

  • Perusahaan berbadan hukum Indonesia atau perorangan warga Negara Indonesia
  • Memiliki legalitas yang lengkap selaku badan hukum (Akta pendirian perusahaan dan perubahannya, Anggaran Dasar dan perubahannya, legalitas lainnya) atau legalitas selaku perorangan (KTP, KK dan legalitas lainnya) serta legalitas usaha (SIUP, SITU, TDP dan lainnya) sebagaimana diatur dalam PPK masing-masing bidang bisnis.
  • Untuk proyek-proyek tertentu mensyaratkan adanya Surat Ijin Penggunaan Tanah dari Gubernur setempat dan atau  fatwa tata guna tanah dari Kantor Agraria daerah setempat
  • Memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai ketentuan yang berlaku
  • Mempunyai karakter dan kapabilitas sebagai pengembang/developer. 

Risiko yang terkait dengan proyek 

Lokasi proyek

Lokasi proyek berkaitan dengan produksi dan pemasaran antara lain penyediaan bahan baku / bahan produksi, tenaga kerja, biaya transportasi / biaya operasi, pemasaran dan lain lain. Lokasi usaha yang terpencil, tentunya akan menyulitkan dalam pemasaran, penyediaan bahan baku, penyediaan tenaga kerja serta akan meningkatkan biaya operasi/biaya proyek akan berpengaruh pada nilai jual.

Status tanah proyek

Status kepemilikan tanah proyek harus jelas. Guna menghindari klaim atau tuntutan dari pihak ketiga atas tanah proyek yang bersangkutan sebaiknya status kepemilikan sudah atas nama pengembang.

Risiko yang terkait dengan kontraktor yang mengerjakan

Risiko yang terkait dengan kontraktor akan timbul apabila pengerjaan proyek konstruksi tidak dilakukan sendiri oleh pengembang, namun dilakukan oleh kontraktor lain yang ditunjuk oleh pengembang. Risiko yang terkait dengan kontraktor antara lain bonafiditas kontraktor, pengalaman dan Legalitas kontraktor

Risiko yang terkait dengan konstruksi, antara lain :

  1. Cost over Run
  2. Delay.
  3. Ketidaksesuaian antara pengerjaan proyek dengan design/bestek/ spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perhitungan konstruksi yang salah. 

Risiko Konstruksi bisa terjadi antara lain akibat kesalahan pada penunjukan kontraktor, adanya kenaikan harga bahan bangunan atau karena kejadian-kejadian tak terduga (bencana alam, serangan bom dan lain sebagainya). Untuk risiko kesalahan akibat kesalahan penunjukan kontraktor dapat diminimalisir dengan mengetahui apakah kontraktor yang ditunjuk bonafide dan berpengalaman. Sedangkan untuk risiko kejadian-kejadian tak terduga dapat dicover dengan asuransi. 

Risiko Ketersediaan Dana

Risiko ketersediaan dana dapat terjadi apabila kita sebagai analis tidak mengetahui sampai seberapa banyak ketersediaan dana Pengembang, apakah dana yang ada dapat menutup seluruh biaya yang akan timbul dalam pembangunan proyek, sehingga tidak menimbulkan pembangunan berhenti ditengah jalan.

Laporan Keuangan untuk Pengembang

Memahami karakterisitik Laporan Keuangan untuk Pengembang yaitu :

Aktiva Lancar :

Dalam Aktiva Lancar terdapat dua pos keuangan yang dominant (nilainya besar) dan perlu diperhatikan yakni : 

Komponen yang ada di dalam persediaan adalah Nilai Tanah dan Bangunan untuk proyek yang akan dijual dimasukkan dalam Persediaan

Piutang Usaha / Piutang Proyek

Yakni merupakan piutang pengembang mall kepada kontraktor proyek. Untuk mengetahui apakah piutang tersebut wajar atau tidak (termasuk piutang lancar atau macet) perlu dilakukan pengecekan terhadap kontrak dan invoice yang sedang berjalan. 

Aktiva Tetap

Untuk Tanah dan Bangunan yang akan disewakan dimasukkan dalam Aktiva Tetap. Komposisi asset pada awal dimulainya pembangunan proyek didominasi oleh Aktiva Tetap berupa Tanah. 

Hutang Lancar

Pada Hutang Lancar terdapat dua pos keuangan yang dominan dan perlu diperhatikan yakni Hutang Bank dan Hutang Usaha. Apabila didalam membangun menggunakan jasa kontraktor, maka akan timbul sumber dana Hutang Pihak Ketiga (Kontraktor) Sedangkan apabila dikerjakan sendiri, akan muncul Hutang Pemegang Saham. 

Pendapatan / penjualan

Karena belum operasional, bila ada penjualan atau pembayaran dari konsumen maka untuk sementara akan dibuku dalam pos Hutang Uang Muka Diterima. Pendapatan Uang Muka tersebut baru diakui sebagai Pendapatan/penjualan pada saat unit bangunan yang terjual / tersewa diserahterimakan. 

Risiko Pemasaran

Risiko Pemasaran dapat terjadi apabila unit bangunan yang sudah jadi tidak laku dijual akibat harga yang terlalu mahal, salah dalam memilih segment pasar, over supply, daya beli menurun dan sebagainya. Risiko ini dapat diminimalisir apabila kita bisa melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh pasar yang ada di daerah tersebut.  

Risiko terkait dengan  Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah dan hukum yang berkaitan dengan pusat perbelanjaan antara lain :

SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 420/MPP/Kep/10/1997 tanggal 31 Oktober 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Modern 

  • Pemerintah mengatur tentang ZONASI atau jarak yang diperlukan antara lokasi pasar modern (hypermarket, department store, supermarket) dengan pasar tradisional sehingga keberadaan pasar modern tidak mematikan pasar tradisional.
  • Pasar Modern hanya boleh didirikan di ibukota propinsi, tidak boleh berada di kabupaten/kota di luar ibukota provinsi.
  • Berada di lokasi yang sesuai dengan RTRWK ( Rencana Tata Ruang Wilayah Kota) atau Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota (RDTRWK)
  • Untuk Wilayah Kabupaten ( Dati II ) harus berada di lokasi sesuai dengan RDTRWK dan Ijin Khusus Pasar Modern dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
  • Sedangkan untuk wilayah Kabupaten atau Dati I yang belum mempunyai RTRWK dan RDTRWK dilarang mengajukan usul pembangunan pasar Modern.

Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang rencananya akan dikeluarkan Maret 2007

Hal yang  penting yang akan diatur adalah mengenai zonasi dan Persyaratan Pendirian Pasar Ritel Modern termasuk di dalamnya Pusat Perbelanjaan. 

Peraturan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta no.2 tahun 2002 tentang Perpasaran (Ritel) Swasta di Propinsi DKI 

Peraturan ini dikeluarkan untuk membenahi keberadaan hypermarket yang kian marak di Jakarta, Berdasarkan Perda No.2/2002, izin lokasi usaha ritel modern harus berjarak dari pasar lingkungan yaitu peritel seluas 100 – 200 m2 harus berjarak 0,5 km, peritel seluas 1.000 – 2.000 m2 harus berjarak 1,5 km, peritel seluas 2.000 – 4.000 m2 harus berjarak 2 km dan peritel seluas > 4.000 m2 harus berjarak 2,5 km.   

Peraturan ini merupakan salah satu contoh mengenai masalah perpasaran  (ritel) swasta di DKI Jakarta. Di dalam prakteknya tentu saja aturan ini tidak berlaku menyeluruh tetapi akan disesuaikan dengan kebijakan masing-masing daerah/propinsi yang bersangkutan. 

Kebijakan Kenaikan Harga Barang 

Kebijakan pemerintah lain yang menyangkut kenaikan harga barang, seperti misalnya kebijakan tentang kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 lalu, mengakibatkan omset pengusaha mengalami penurunan dan kebijakan kenaikan yang berkaitan dengan pasar pusat perbelanjaan ritel modern juga membawa konsekuensi pembebanan harga jual  yang harus ditanggung oleh tenant atau pembeli.