Last Updated:
Investasi Dan Risiko Bisnis Gula Tebu
PustakaDunia.com

Profil Investasi Dan Risiko Bisnis Gula Tebu

Anonymous
Anonymous Perkebunan

Profil Investasi Dan Risiko Bisnis Gula Tebu - Secara keseluruhan luas perkebunan tebu di Indonesia tidak mengalami pertumbuhan yang berarti. Pada tahun 2003, luas area perkebunan tebu di Indonesia adalah sebesar 348.369 hektar dan naik menjadi sebesar 350.111ha pada tahun 2004 atau mengalami kenaikan sebesar 0,5 %. Secara lebih rinci, perkembangan luas areal perkebunan tebu di Indonesia adalah sebagai berikut;

Pada tahun 1999, produktivitas perkebunan tebu rata-rata per tahunnya adalah sebesar 4,37 ton/hektar naik menjadi 4,96 ton/hektar pada tahun 2000. Produktivitas perkebunan tebu di Indonesia tahun 2004 mencapai angka sebesar 5,6 ton/hektar. 

Tabel. 2     Perkembangan Luas Areal, Produksi Tebu, dan Produktivitas Tebu Periode tahun 1999 – 2004 

 

Tahun

 

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Luas area (Ha)

342,211

340,660

344,750

347,327

348,369

350,511

Produksi Tebu (Ribu Ton)

1,493,93

1,690,00

1,727,56

1,891,04

1,887,26

1,959,51

Produktivitas (Ton/Ha)

4.37

4.96

5.01

5.44

5.42

5.60

Perkembangan Industri Gula Indonesia

Sebagian besar pabrik gula (PG) yang ada di Indonesia yang berstatus BUMN berlokasi di Jawa. Namun kondisi pabrik gula di Jawa tersebut umumnya sudah tua, berskala kecil dan sebagian besar tidak efisien. Sehingga sebagian besar pabrik gula (PG) di Jawa kesulitan meningkatkan efisiensinya karena disamping mesin dan peralatan pabrik yang sudah tua, pabrik harus menghadapi mutu tebu rendah dan pasokan tebu harian relatif kurang. Dengan kata lain, sebagian besar pabrik gula (PG) yang beroperasi tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis.

Produksi Gula Indonesia

Pada saat ini, produksi gula nasional belum mampu memenuhi untuk kebutuhan gula dalam negeri yang cenderung meningkat. Hal ini ditandai menurunnya produksi gula nasional yang selama tiga tahun terakhir, berfluktuasi dengan kecenderungan menurun dari 1,72 juta ton pada tahun 2001 menjadi 1,63 juta ton pada tahun 2003. Sehingga untuk memenuhi konsumsi gula yang mencapai sekitar 3,2 juta ton sampai dengan 3,3 juta ton, Indonesia menjadi salah satu negara importir gula terbesar dunia karena masih harus mengimpor gula dengan volume sekitar 1,5 juta ton sampai dengan 1,6 juta ton setiap tahunnya.

Disisi lain, meningkatnya permintaan gula dalam negeri (konsumsi) sejalan dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga dan terutama didorong oleh berkembangnya industri makanan dan minuman yang memerlukan bahan baku gula tebu. 

                     Tabel  3. Produksi Gula Indonesia Menurut Daerah 

Tahun

Produksi (Ton)

 

Perkembangan (%)

Jawa

Luar Jawa

Total

 

2000

945.646

744.354

1.690.000

13.5

2001

955.690

739.776

1.725.467

2.1

2002

1.093.030

662.403

1.755.433

1.7

2003

1.024.760

607.159

1.631.919

-7.0

2004

1.039.830

623.095

1.662.925

1.9

                 Sumber  : FAO (2005) 

Daerah penghasil gula terbesar dari luar Jawa adalah propinsi Lampung. Dalam periode yang sama produksi gula dari Lampung menurun dari 1.669.140 ton pada tahun 2001 menjadi 493.103 ton pada tahun 2003 atau sharenya sekitar 30 dari total produksi gula nasional. Tahun 2003, penurunan produksi gula dari porpinsi Lampung cukup tajam. Menurut Ditjen Tanaman Pangan Semusim, Deptan, kontribusi penurunan produksi terbesar di luar Jawa khususnya dari Lampung berasal dari PT Garuda Panca.

Perkembangan Perdagangan Gula Indonesia 

Program percepatan produktivitas gula dilakukan selama tahun 2002 - 2007, dengan target kenaikan produksi rata-rata 9,6 % per tahun. Melalui program percepatan produktivitas gula ini, pada tahun 2007, total produksi gula nasional diproyeksikan akan mencapai 2,98 juta ton.

Disisi lain, dengan meningkatnya produktivitas gula diharapkan akan menurunkan biaya produksi sehingga harga gula domestik mampu bersaing dengan harga gula impor. Impor gula berpeluang terus akan meningkat mengingat pasok gula lebih kecil dibanding kebutuhan. Sebagai gambaran, menurut Dewan Gula Indonesia (DGI) pada tahun 2002 misalnya konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, namun produksi gula dalam negeri hanya 1,9 juta ton. Dengan kata lain terdapat impor 1,4 juta ton. Sementara pada tahun 2003, menurut DGI, produksi gula nasional mencapai 1.628.058,4 ton, sedangkan realisasi impor gula mencapai 617.319 ton.

Tabel  4.  Perkembangan Impor Gula 

Uraian

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Sugar

 

 

 

 

 

 

Cane Sugar

1.186.452

989.298

1.025.980

618.643

412.471

423.824

Beet Sugar

26.655

4.795

 

 

390.658

401.411

Others

7.325

13.373

321

416

48.545

 

Sub Total

1.220.432

1.007.466

1.026.301

619.059

825.235

825,235

 

 

 

 

 

 

 

Raw Sugar

966.701

549.221

258.489

351.919

483.371

483.371

Total

2.187.133

1.556.687

1.284.790

970.978

1.322.097

1.308.606

Sumber BPS 2005 (diolah) 

Meningkatnya impor gula sejalan dengan kecenderungan naiknya konsumsi gula belakangan ini, sementara produksi gula nasional tidak mencukupi akibat menurunnya produktivitas gula. Dengan kebutuhan sebanyak 3,3 juta ton per tahun, sementara produksi gula nasional hanya 1,6 juta ton pada 2003 lalu, praktis kebutuhan impor gula konsumsi mencapai sekitar 1,7 ton per tahun. Dengan kata lain, terdapat impor gula putih ilegal sekitar 1,1 juta ton.        

Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia

Dibanding tingkat konsumsi gula perkapita dunia yang mencapai rata-rata 20 kg per  kapita per tahun, tingkat konsumsi gula yang dikonsumsi umum (tidak termasuk kebutuhan industri) di Indonesia tergolong rendah yaitu sekitar 13-14 kg per kapita per  tahun. Bahkan sangat rendah jika dibanding konsumsi gula perkapita di Amerika Serikat yang mencapai 70 kg/kapita per tahun.

Tabel  5. Realisasi Konsumsi Gula Nasional Periode Tahun 2000-2004                                   

Tahun

Produksi (Ribu Ton)

Impor (Ribu Ton)

Konsumsi (Ribu Ton)

2000

1,690

2,024

3.714

2001

1,725

1,670

3,396

2002

1,755

1,262

3.018

2003

1,632

1,719

3,351

2004

1,663

1,701

3,364

         Sumber: Data Consult (2005) 

Permintaan gula untuk bahan baku industri makanan jauh lebih besar dibanding untuk   konsumsi rumah tangga. Hal ini terlihat dari kecenderungan meningkatnya pangsa  permintaan gula untuk bahan baku industri. 

Tabel 6. Porsi Konsumsi Gula dalam Negeri (dalam persen) 

Jenis Konsumsi

Persentase (%)

Industri Pengolahan

50 %

Rumah tangga

44 %

Lainnya

6 %

Sumber: BPS. diolah

Profil Investasi

Analisis Usaha Tani Tebu 

Analisis usahatani tebu dihitung dengan patokan luas 1 hektar. Asumsi yang digunakan adalah biaya yang dikeluarkan sebesar pinjaman ditambah dengan bunga sebesar 16% per tahun  Pada Tabel 20 disajikan analisis usaha tani tebu pada tingkat hasil (tebu dan rendemen) sesuai kenyataan di lapangan. 

Tabel 7.  Analisis Usaha  Tani Tebu per Hektar

No

Uraian

Satuan

Jumlah

1

Pinjaman

Rp

         7.500.000

2

Bunga

%

19

3

Jumlah Biaya

Rp

         8.925.000

 

 

 

 

4

Hasil tebu

ton

75

5

Rendemen

%

6,7

6

Bagian tetes

%

2

 

 

 

 

6

Hasil gula total

ton

5.025

7

Hasil gula petani

ton

3.266

8

Bagian tetes

ton

1,5

 

 

 

 

9

Harga gula

Rp/kg

                2.860

10

Harga tetes

Rp/kg

500

 

 

 

 

11

Pendapatan dari gula

Rp

         9.341.475

12

Pendapatan dari tetes

Rp

            750.000

13

Pendapatan kotor

Rp

        10.091.475

 

 

 

 

14

Pendapatan bersih

Rp

         1.166.475

 

 

 

 

15

R/C

 

1,13

16

B/C

 

0,13

Sumber : data primer diolah daerah Madiun 

Dengan berdasarkan pada data yang ada tampak bahwa pendapatan neto petani hanyalah sebesar Rp. 1.116.475,- per hektar per musim tanam. Jika dihitung sewa lahan sebesar Rp. 1.500.000,- per tahun dan biaya manajemen Rp. 500.000,- per tahun, maka pendapatan yang diperoleh sebesar minus Rp. 833.525,- atau artinya rugi.  Break even point dengan kondisi ini akan dicapai pada luas tanam 1,5 hektar. 

Jika luasan yang dikelola tetap 1 hektar, break even point akan dicapai dengan rendemen 7,5 pada hasil tebu tetap 75 ton per ha. Namun jika hasil tebu mampu meningkat menjadi 80 ton per hektar dan rendemen 7,5, petani mulai menikmati keuntungan meskipun sedikit. 

Biaya Investasi Perkebunan Dan Pabrik Gula   

Biaya Total 

Biaya dihitung berdasarkan kurs rupiah terhadap US dolar Rp. 7.500,- dan sumber data perhitungan adalah PT. Sucofindo (Persero). 

Biaya total yang dibutuhkan untuk membangun sebuah pabrik gula dengan kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari dengan luas kebun 18.000 hektar adalah sebesar Rp. 390.292.440.000,- yang terdiri atas biaya investasi sebesar Rp. 309.006.500.000,-, modal kerja sebesar Rp. 10.858.904.000,-, dan bunga masa konstruksi sebesar Rp. 70.427.036.000,-. Jika diprosentasekan masing-masing biaya adalah 79,17% biaya investasi, 2,78% modal kerja, dan 18,04%  bunga masa konstruksi. 

Perincian biaya tersebut adalah sebagai berikut. 

Tanah                                                                    : Rp.  51.864.500.000,-

Bangunan (pabrik, perumahan dan kantor)          : Rp.  27.455.000.000,-

Infrastruktur                                                          : Rp.  23.832.000.000,-

Pembangunan kebun                                             : Rp.  51.864.500.000,-

Mesin dan peralatan pabrik                                   : Rp.190.520.000.000,-

Biaya pra usaha                                                     : Rp.    7.500.000.000,-

Kendaraan                                                             : Rp.    6.935.000.000,-

Peralatan kantor dan lainnya                                 : Rp.       900.000.000,-

      Jumlah biaya investasi                                    : Rp. 309.006.500.000,-  

Standar Biaya Investasi Untuk Pabrik Rafinasi (Mesin Baru) 

  • Biaya Total

Biaya total yang dibutuhkan untuk membangun sebuah pabrik gula rafinasi kapasitas terpasang 360.000 ton per tahun adalah sebesar Rp. 390.292.440.000,- yang terdiri atas biaya investasi sebesar Rp. 231.550.992.000,-, modal kerja sebesar Rp. 43.651.420.000,-, dan bunga masa konstruksi sebesar Rp. 51.657.695.000,-. Jika diprosentasekan terbesar adalah biaya investasi sebesar 70,84%.

 Perincian biaya tersebut adalah sebagai berikut.

Tanah                                                  : Rp.  30.050.000.000,-

Bangunan (pabrik, dan instalasi)         : Rp.  31.013.992.000,-

Bangunan umum dan perusahaan       : Rp.   2.308.000.000,-

Bangunan Material Handling             : Rp.   9.930.000.000,-

Infrastruktur                                        : Rp.    3.200.000.000,-

Mesin dan peralatan                            : Rp. 144.226.500.000,-

Biaya pra usaha                                   : Rp.    9.900.000.000,-

Kendaraan                                           : Rp.       422.500.000,-

Peralatan kantor dan lainnya               : Rp.       500.000.000,-

            Jumlah biaya investasi            : Rp. 231.550.000.000,-

Profil Risiko Agribisnis Tebu 

Disamping peluang yang ada, berdasarkan analisis SWOT dapat diketahui kendala dan risiko apa saja yang harus dihadapi dalam bisnis pergulaan.  Risiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal yang terdiri faktor teknis, sosial ekonomi, dan kebijakan dalam negeri. Sementara itu faktor eksternal yang menentukan risiko usaha adalah kebijakan dunia tentang pasar global, dan kondisi produksi gula dunia yang ada saat ini dan di masa mendatang. 

Internal 

Beberapa titik kritis dalam pengusahaan tebu yang dapat mempengaruhi keberhasilan adalah.

1.   Teknis
  • Kesesuaian lahan; di Jawa dengan persaingan yang ketat dengan komoditi lain, tebu tergeser ke lahan - lahan dengan kelas yang lebih rendah. Sementara itu di luar Jawa sudah sangat sulit ditemukan lahan - lahan yang sesuai untuk tebu meskipun lahan tersedia.
  • Waktu tanam yang berhubungan dengan pola tanaman yang lain.
  • Varietas yang kurang sesuai dengan lokasi penanaman.
  • Mutu bibit.
  • Pemeliharaan, terutama mutu pengolahan tanah, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit.
  • Penentuan panen dan pelaksanaan panen.
2.    Proses pengolahan
  • Teknis: kemampuan pabrik dalam mengolah tebu, terutama dalam kemampuan ekstraksi nira. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi mesin atau mutu tebu yang jelek, sehingga terpaksa dilakukan penyesuaian-penyesuaian.
  • Manajemen: keterlambatan giling yang dapat disebabkan oleh jam berhenti internal (kerusakan mesin) atau eksternal (kekurangan bahan).
1.      Sosial ekonomi 

Ketersediaan lahan: lahan yang tersedia untuk tanaman tebu semakin lama semakin sulit untuk diperoleh. Permasalahan kepemilikian lahan semakin lama semakin rumit. Saat ini sulit untuk memperoleh lahan dengan status tanpa pemilik. Dimanapun letak lahan tersebut pasti akan ada pemiliknya jika sudah dibuka menjadi areal yang bersih dan siap digarap. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa status lahan merupakan kunci utama dimulai usaha di bidang perkebunan.

Sikap petani yang semakin hari semakin banyak menuntut dan selalu meminta berbagai fasilitas dan kemudahan, tanpa menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi di pergulaan dunia. Misalnya petani selalu menyalahkan impor dan rendahnya harga gula dunia sebagai penyebab rendahnya produksi gula nasional. Sebenarnya apakah memang begitu kejadiannya. Apakah rendahnya efisiensi dalam produksi gula dalam negeri tidak berperanan dalam lemahnya persaingan gula dalam negeri.   

Eksternal 

Besarnya stok gula dunia yang ada sat ini akan terus bertambah dengan semakin berkurangnya konsumsi gula tebu di negara-negara maju, sementara produksi gula dunia terus bertambah.  Bagi negara yang memiliki pertimbangan dan peluang usaha lain kondisi ini disikapi dengan menutup pabrik-pabrik gulanya dan mengalihkan ke usaha lain.  Sebagai contoh riel untuk ini ialah Hawai, saat ini di sana hanya tersisa satu pabrik gula yang digunakan bukan sebagai penghasil gula, tetapi sebagai obyek wisata (agrowisata).

Dengan stok yang berlimpah dan berlakunya  pasar bebas yang akan berlaku menjadi titik kritis dalam pengusahaan tebu.  Persaingan harga akan menjadi salah satu titik penentu industri gula dalam negeri.  Dengan tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah akan menyebabkan persaingan di tingkat dunia akan semakin berat bahkan akan berkesan tidak berdaya dan terpuruk.

Proteksi tidak mungkin dilakukan sebab akan menyebabkan berbagai permasalahan perdagangan di tingkat dunia.